SERI 3
Februari 25, 2013
Aku masih
ingat dengan jelas bahwa aku menangis malam itu. Ya, aku menangis. Menangis
karena malu mungkin? Atau menangis karena merutuki kebodohanku, aku tak tahu.
Yang jelas, setelah aku mengucapkan semua yang ingin ku katakan, bulir-bulir
bening bening mulai berjatuhan di pelupuk mataku. Dan lama kelamaan tetesan itu
semakin besar, menganak-pinak tanpa mampu aku membendungnya. Aku juga tak tahu
pasti apa yang ada dalam otakku saat itu. Yang ku tahu hanyalah sebuah perasaan
menyesakkan yang seolah meremukkan tulang rusukku. Menghimpit rongga dadaku,
sehingga mungkin aku akan mati karenanya. Aku menangis dalam diam. Tak
sekalipun ku biarkan satu isakan lolos dari bibirku. Tak ku biarkan seseorang
pun tahu bahwa aku menangis –meskipun itu adalah sebuah fakta yang tepat
adanya-. Mungkin sebuah keputusan yang salah untuk memberitahukan perasaanku
kepadamu. Dan mungkin itu adalah sebuah perbuatan terbodoh untuk mengatakan
bahwa aku mencintaimu. Tapi entah mengapa hati dan pikiranku selalu memaksaku
untuk jujur pada perasaan. Jujur pada orang yang ku cintai. Sehingga tanpa
sadar aku mengucapkan satu kalimat sakral yang tak pernah sekalipun ku
bayangkan akan terluncur dari mulutku.
Aku tak
tahu pasti apa yang kau pikirkan tentangku ketika aku mengatakannya –meskipun
dengan pesan singkat sebagai media tentunya-. Mungkin kau tertawa dan berkata
bahwa aku adalah gadis yang sangat bodoh. Kau pasti tersenyum
mengejek dengan seringaian khasmu yang menyebalkan –namun harus kuakui bahwa
itu juga sangat mempesona untukku- ketika aku menyampaikan hal yang sudah
terlalu jelas untuk disampaikan. Kau mengatakan padaku bahwa kau sudah tahu
–lewat pesan singkat pula-. Dan aku bagai tertimpa runtuhan batu padas pada
saat itu. Ah, apakah memang rasaku ini begitu tampak bagi orang lain,
eh? Kenyataannya, pada saat itu aku melupakan fakta bahwa kau lah
satu-satunya orang yang bisa dengan mudah membaca hatiku. Tentu saja untuk
mengetahui bahwa aku mencintaimu bukanlah hal yang sulit. Mudah saja untukmu.
Terlalu mudah malah.
Aku coba
untuk mengingat apa yang membuatku memutuskan untuk mangatakan segalanya padamu
malam itu. Dan sampai sekarang pun, aku masih tak menemukan secuil memori pun
yang bisa jadi petunjuk untukku agar bisa mengingat alasannya. Kurasa, semua
mengalir begitu saja. Entah dari mana keberanian yang aku dapatkan pada saat
itu berasal. Aku tak pernah sekalipun meminta jawaban darimu. Karena hatiku
tidak akan pernah siap untuk menerima penolakan dari bibirmu. Ya, aku memilih
untuk mengantungkan perasaan ini di awang-awang. Memilih untuk tidak pernah
mencoba mengungkap segala pemikiranmu tentangku, tentang kita. Aku memilih
untuk menulikan telingaku untuk mendengar hal yang mungkin akan kau katakan,
karena toh aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya berharap bahwa setidaknya
dengan mengungkapkan segalanya, beban berat yang kubawa ini akan menjadi
sedikit lebih ringan. Ya, aku memang berharap seperti itu. Tapi kadang harapan
tak berjalan sesuai dengan kenyataan bukan? Aku malah semakin merasa sesak
setelahnya. Memikirkan kemungkinan yang terjadi esok membuatku hampir gila. Dan
air mata bodoh ini mulai mengalir begitu saja. Semakin deras, sehingga membuat
mataku pedih –walau tak sepedih hatiku-.
Hal yang
aku takutkan adalah jika kita bertemu kembali. Aku tak siap. Aku tak kuasa
untuk melihatmu. Lagipula aku bingung, dengan sikap apa kelak aku harus
menemuimu. Kau pasti tahu kan? Aku bukan tipikal orang yang dengan mudah bisa
bersikap wajar seolah tak terjadi apa-apa jika ada hal yang mengganjal di
hatiku. Apalagi di hadapanmu yang bisa dengan mudah meretas isi pikiranku.
Tentu kesulitanku akan bertambah, bahkan berlipat ganda nantinya. Kau tahu? Aku
berusaha mati-matian untuk menghindar. Yah, kau boleh katakan aku pengecut jika
kau mau. Dan aku tak akan menampik semuanya, tentu saja. Karena pada
kenyataannya aku memang berusaha lari dari bayangmu sekalipun –walau semuanya
hanya sia-sia belaka-.
Untuk
sesaat aku pernah mengira bahwa waktu akan menyembuhan kegilaanku. Aku berharap
bahwa waktu dapat menarikku kembali pada jalur normal yang harusnya ku tempuh,
karena aku memang sudah keluar dari batas normal setelah mengenalmu. Aku bahkan
mencoba untuk selalu menyibukkan diri dengan segala kegiatan yang seolah tak
ada habisnya itu hanya untuk melupakan segala tentangmu. Tapi entah mengapa
semua cara itu tak pernah berhasil untukku. Mungkin untuk beberapa jam, hal itu
akan berjalan sempurna. Tetapi pada detik setelahnya kau muncul kembali,
merajai hati dan otakku. Ah, bahkan hanya dengan mengingat saat kita bersama,
aku dapat tersenyum, bahkan menitikkan air mata. Harus ku akui, kau memang
memegang peranan besar dalam hidupku. Dan jika bisa, aku ingin agar kau
mengembalikan sebagian hatiku yang telah kau bawa. Agar aku tak perlu lagi
memenuhi relung jiwaku dengan firdaus semu yang ku harapkan bersamamu.
Sempat
aku memikirkan bagaimana jika kenyataannya takdir akan mempertemukan kita
setelahnya? Apakah kita tetap bisa seperti dulu? Tersenyum. Bercanda. Tertawa
bersama seolah tak ada aral yang akan menghadang. Jujur saja, hatiku merasa
takut memikirkan itu semua. Aku takut jika kelak, ketika kita bertemu, kau akan
memandangku dengan tatapan sedingin es. Aku takut jika ternyata kau sama sekali
tak mengharapkan untuk bertemu denganku. Aku takut jika nantinya kau hanya akan
berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun untukku. Aku takut. Sangat takut.
Kadang aku mengutuk hatiku yang tak bisa lepas dari jerat yang membelenggu.
Jerat setan yang mematikan, namun begitu indah sekaligus mendebarkan di saat
yang bersamaan. Jerat yang mampu menenggelamkanku dalam lautan amora yang
begitu memabukkan. Mampu membuatku menjadi seliar ini, seolah tak mengenal
batas. Hey, jangan pernah kau mengira bahwa aku tak mencoba untuk mendekati
jerat lain. Apakah harus ku tekankan bahwa aku sudah berkali-kali mencoba?
Namun kau pasti tahu sendiri bahwa aku tak akan semudah itu melepaskan jerat
yang kau punya. Semua hanya kuanggap angin lalu saja. Tak ada yang sepertimu
memang. Dan karena itulah aku tak pernah tergoda untuk mendekati lelaki selain
engkau. Aku tahu, salah besar jika aku menginginkan sosok sepertimu. Konyol
jika aku terus berharap bahwa Tuhan akan mengirimkan duplikatmu untukku. Karena
kau pasti paham kan? Itu berarti aku memang masih begitu mengharapkanmu. Bahwa
aku bahkan berusaha mencari sosok dirimu dalam orang lain. Mencoba membohongi
diriku sendiri dengan pantulan dirimu yang terbias oleh insan yang hampir
serupa denganmu, entah sifat maupun pembawaannya.
Aku tak
pernah mengira bahwa sosok angkuhmu itu mampu membawaku melihat dunia baru yang
tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dunia baru yang terasa begitu berwarna,
sehingga mataku kadang silau karena pancarannya. Entah harus kusebut ini
sebagai kesialan atau keberuntungan. Tapi tatapan matamu seakan menyedotku
untuk ikut dalam pusaran kehidupan yang tak pernah aku selami. Senyumanmu
seolah menyiratkan sebuah jalan kebahagiaan yang pasti akan ku dapatkan
setelahnya. Begitu menyejukkan, begitu menyenangkan. Melenakan aku tentang ruam
yang akan membekas di hatiku ketika aku mengetahui bahwa kau tak selamanya akan
menuntunku. Ah, aku selayaknya memang harus banyak berterima kasih padamu.
Meskipun akhirnya kita memang tak bisa melalui jalan ini bersama, tapi
setidaknya kau telah berbaik hati untuk membukakan pintu itu untukku. Paling
tidak, aku terpaksa harus belajar untuk tak selalu bergantung padamu kan? Yah,
aku harus mendewasakan diri dan menyiapkan hati untuk bertemu denganmu kelak.
Karena sejujurnya aku tak ingin memperlihatkan sisi lemahku pada orang lain.
Terutama padamu tentu saja. Meski tidak, ah bukan. Meski belum berhasil, tapi
setidaknya aku sadar bahwa tak sepantasnya aku membiarkan duniaku berhenti
begitu saja karenamu. Ya, memang tak selayaknya demikian. Karena aku percaya,
bahwa akan ada kebahagiaan lain yang menungguku di ujung pintu yang kau
bukakan. Meskipun mungkin bukan denganmu.
Tunggu seri selanjutnya yaaaa,,,
See you.. ^_^
0 komentar